Tuesday, November 17, 2015

Sekuntum bunga mawar (Part4)

Saat saat pernikahan adalah saat yang membahagiakan, cucuku yang dari anak kedua telah menikah, kami menghadiri acara pernikahannya di honolulu, Hawai. Suasana pernikahannya sangat romantis dan mereka memilih pantai sebagai tempat disakralkannya pernikahan mereka. Si Cindy, cucuku yang menikah ini mengingatkanku pada saat pernikahanku dulu.

Saat dulu aku menikah dengan Wills kami menikah di sebuah Gereja di Amerika. Banyak teman teman Wills dan saudara serta kerabat Wills yang hadir. Wills tahu bahwa aku sangat suka bunga mawar, mereka pun mendesain suasana gereja dengan bunga mawar, dari pihakku hanya kakak pertamaku yang hadir saat itu. Dia ingin jalan jalan ke Amerika, sekaligus juga menghadiri pernikahanku, selain itu dia menikah dengan lelaki tajir, dialah yang paling kaya di antara kami semua.

Saat memasuki aula gereja, hatiku bergetar dan aku berdoa di dalam hati semoga Wills memang direncanakan Tuhan sebagai pasangan hidupku hingga akhir hayat, semoga cinta kasih kami tidak berubah dan tetap saling setia hingga maut memisahkan. Saat aku melihat bunga bunga mawar di sisi kanan kiri sepanjang jalanku menuju ke panggung atas mendekati Wills dan pastor, perasaan grogi dan kaku mulai hilang.

Kakak pertamaku dan suaminya menjadi saksi pernikahan kami dari pihakku, ayah dan ibu Wills menjadi saksi atau wali dari pihak Wills, setelah pemberkatan kami di gereja, kami melangsungkan resepsi di rumah orang tua Wills, dan kami memilih taman sebagai tempat resepsi dan menghidangkan berbagai menu makanan dan minuman.

Acara pernikahan pun telah usai, hari yang lelah dan paling membahagiakan sepanjang hidupku,. Sentuhan tangan Wills, membangunkan aku dari lamunanku, aku tersenyum sambil berbisik :" Saya jadi teringat saat kita menikah dulu, sama seperti Cindy saya masih begitu muda dan cantik, ha..ha.." Wills, hanya menatapku dan mencium keningku dengan manis, kami masih pasangan yang romantis walau telah berusia lanjut.

Semenjak aku mulai tua dan mulai rhematik serta banyak keluhan kesehatan lainnya, aku jadi sering mudah marah dan Wills lah yang paling memahamiku. Aku ingin sekali berkunjung kembali ke kampung halamanku menemuiku kakak dan adik adikku sebelum aku terlalu tua untuk berjalan, aku menyampaikan hal ini pada William dan dia pun mengiyakan dan kami bersama sama berangkat ke Indonesia, ke tanah kelahiranku, sudah 50tahun lebih aku tidak pulang, terakhir aku pulang saat anak pertamakku sudah berusia 5 tahun, kami membawanya bersama ke Indonesia mengunjungi kakek dan neneknya.

Ayah dan ibuku telah lama tiada, kami sering mengirim surat atau terkadang menelepon orang tuaku dari Amerika, kini aku mengunjungi kakak dan adikku yang masih ada, kami bertujuh bersaudara. Saat saat yang kutunggu untuk berkunjung ke kampung halamanku akhirnya terwujud, kukunjungi saudaraku satu persatu, ada yang telah tiada, dan anak cucu mereka yang mengunjungi kami di kampung. Saat datang ke indonesia, Wills pun sudah susah berjalan dan memakai tongkat, kami ditemanin anak kedua kami dan keluarganya ke Indonesia. Ini seperti reunian dan perkenalan antar saudara.

Hariku mulai senja, akupun telah rentah, aku kini hanya bisa berbaring dan Wills yang setia menemaniku serta menantuku bergantian menjagaku dan membersihkan diriku jika buang air atau mengelap badanku. Suamiku yang kini selalu rajin menyuapiku dan kami masih tetap berbahagia dan selalu romantis. Bahkan kami berjanji jika nanti salah satu dari kami yang terlebih dahulu dijemput Tuhan, kami akan saling menanti.

Saat saat terakhirku telah tiba, nafasku terengah engah, aku susah bernafas, dan aku melihat para malaikat telah berkumpul dan mengendarai kereta kuda untuk menjemputku. Saat saat terakhir mulai kurasakan, akupun tidak takut atau merasa menyesal, aku merasa hidup yang aku jalani telah sangat baik dan aku sangat berbahagia. Jika aku yang duluan dijemput, aku akan menanti Wills di surga. " I love you so much, my dear, my heart " itulah bisikan terakhir yang masih bisa kudengar dari Wills.

Aku telah tiada di dunia, kini aku bersama para malaikat di surga. Aku menanti kedatanganmu di surga bersamaku lagi Wills, dan kulihat dari surga, ragaku dimasukan di dalam peti mati dengan riasan wajah yang lumayan, dan disisiku ditaburi banyak bunga mawar, bunga kesayangan dan kesukaanku. Kulihat Wills, mengambil sekuntum bunga mawar, diletakan diantar jari jari tanganku, dia sudah susah berjalan, dia duduk di atas kursi roda dan anak anakku membantunya berdiri untuk menyentuh wajahku dan meletakan bunga mawar itu.

Dari Surga, aku berbisik padanya :" I love you so much also my dear, my hubby, we will meet again in heaven." Kulihat matanya berbinar binar, dan seperti mengerti maksudku dia tersenyum manis, senyum yang membuatku jatuh cinta padanya saat pertama kali mengenalnya si pria jangkung.

Ps. Ini adalah karya Fiksi keduaku. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Friday, November 13, 2015

Sekuntum bunga mawar (Part 3)

Usiaku sudah mulai senja, diriku yang kini memasuki usia 80an, sudah sering sakit sakitan, rhematik, tidak tahan jika musim salju sudah datang. Lebih kasihan lagi suamiku William, dia benar benar sudah kelihatan tua sekarang, terkadang sudah mulai pikun dan mulai sering emosional, matanya pun mulai kabur, kini Wills sudah berumur 83tahun, 7 tahun lagi menuju umur 90tahun.

Untungnya, kami memilikki banyak cucu, cucuku ada yang sudah di senior high school, ada yang sudah masuk university, ada yang bahkan sudah menikah, dan ada yang bekerja sebagai nurse ada juga yang sebagai doctor. Jika mereka sudah berkumpul, rasanya semangat muda muncul kembali, banyak hal yang mereka ceritakan, seakan dunia ini sangat berbeda dengan saat kita masih muda.

Sekarang sudah ada eskalator dan lift di mana mana, yang sampai sekarang aku masih merasa ngeri jika berhadapam dengan hal ini, jika bukan Wills dan anak anak yang menemani rasanya aku lebih suka duduk di kursi santaiku sambil mencari dan menanam bibit bibit baru tanaman di tamanku, lebih santai dan sangat menyenangkan.

Setahun sesudah lamaran pria jangkung itu, dia benar benar kembali ke indonesia untuk mempersunting aku menjadi istrinya, kami pun menuju ke kampung untuk memohon restu dan menikah secara adat di sana. Keyakinanku pun telah teguh memilih dia sebagai suamiku, walau banyak keluarga yang memperingatkan aku agar jangan menikah dengannya, menurut mereka orang bule gampang sekali kawin cerai dan berganti ganti pasangan. Tetapi, telah kutetapkan hatiku memilihnya, dan Wills pun benar benar meyakinkanku bahwa dia akan mencintai dan setia kepadaku hingga akhir hayatnya. Iya, pria jangkung itu adalah Wills, William yang kini kelihatan sudah sangat tua.

Saat itu Indonesia, masih belum ketat soal birokrasi, masih dipimpin oleh presiden pertama RI, kami masing masing masih boleh memegang warga negara masing masing. Aku boleh tinggal di Amerika dan mendaptkan green card serta hak tinggal disana karena aku menikahi warga negara sana. Jadi, kami memutuskan untuk tinggal di Negara Amerika dan membentuk keluarga disana, karena Wills lah kepala keluarga, dia yang akan bekerja dan tentu perusahaan Amerika memberikan gaji yang lebih besar. Sedangkan, aku fasih berbahasa Inggris dan Belanda, tentu tidak susah jika ingin membuka usaha kecil kecilan atau bekerja disana.

Orang tua pun akhirnya mengizinkan kami menikah dan dilakukanlah pernikahan adat terlebih dahulu. Di Amerika nanti, kami akan menikah di gereja dan diberkati oleh pastor disana.

Kami menikah dan memilih tinggal di Texas, negara bagian Amerika yang memilikki hasil pertambangan minyak bumi. Aku bekerja di salah satu perusahaan swasta disana, dan Wills bekerja di perusahaan pertambangan minyak bumi. Kadang dia bisa pergi ke mana saja, bisa ke Kuba, ke Eropah, ke negara asia, bahkan ke Indonesia, jika dia ke Indonesia aku akan ikut bersamanya sekalian pulang kampung.

Begitulah kehidupan kami, kami jalani bersama dan dikaruniai 3 Orang anak, ketiga tiganya adalah Putra, dan sekarang kami tinggal di sebuah kota kecil di Amerika. Savannah, Georgia menjadi pihan kami untuk menghabiskan masa pensiun, terkadang kami juga tinggal Atlanta. Anak anak sering mengunjungi kami di negara bagian Amerika, Georgia. Mereka ada yang tinggal di Los Angles, Honolulu dan Georgia yang paling dekat dengan kami.

Wednesday, November 11, 2015

Sekuntum bunga mawar (Part 2)

Setahun sudah perkenalanku dengan pria jangkung, surat suratnya tetap kuterima dan kami pun saling berbalasan surat. Aku hampir memenuhi lemari kecil yang baru kubeli itu dengan surat surat dari pria jangkung. Kuteruskan lamunanku tentang si pria jangkung dan mawar merah, sembari meneguk secangkir demi secangkir teh yang baru kubuat di kursi santaiku.

Aku telah menyelesaikan studiku di tanah Jawa dan aku kembali ke kampungku untuk menemui orang tuaku dan memberi kabar bahwa aku telah diterima bekerja di perusahaan asing milik orang Belanda di Pulau Jawa. Liburanku masih ada seminggu untuk menikmati kampung halamanku, surat surat dari pria jangkung dan berbagai hadiahnya kusimpan dengan rapi di lemari kecil di kamarku. Orang tua ku pun telah tahu bahwa aku sering mendapat kiriman surat yang kukatakan dari sahabat pena. 

Kampungku masih sangat terpencil, setelah naik kapal dan sampai di tepi pantai masih harus naik motor setengah jam untuk sampai ke kampungku. Cuacanya masih sejuk, banyak pepohonan dan orang orang disini banyak bekerja sebagai petani dan nelayan. Walau kami orang miskin, makanan sayur dan lauk kami tidak kalah enak dan bergizi dari orang kota.

Tiba tiba ada ketukan pintu di depan rumahku,. "Hello, ada orang di rumah, Windy ada di rumah?" Hatiku dag dig dug, suaranya berbahasa indonesia seperti orang bule yang baru belajar bahasa indonesia. "Win, coba kemari siapa tuh yang nyariin kamu? kok ada orang bule di kampung kita?" Ujar ibuku mengintip dari jendela. Jantungku serasa mau copot, si pria jangkung!!! "Bu, itu yang sering mengirim surat kepadaku yang kubilang sahabat penaku " jawabku. " Oh ya? ayo persilahkan masuk dan buatkan minuman teh wedang jahe untuknya, kasihan datang dari jauh jauh." Ibuku menambahkan. 

Akhirnya kupersilahkan dia masuk ke rumah kami yang sederhana ini, waduh pria jangkung ngapain kesini? dan sudah bisa berbahasa indonesia. Perasaanku bercampur aduk, antara bahagia, bingung, terkejut, lengkap semua. 

Walau dia sudah bisa berbahasa indonesia, kami masih lebih sering mengunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi. Dia bercerita bahwa dia sedang melakukan penelitian dan petualangan ke Indonesia, dan dia sangat rindu denganku, ingin menemuiku, jadi diupayahkan berbagai cara agar bisa menemuiku. Dia juga mengajak untuk pergi ke pulau dewata Bali berlibur bersama dan dia akan kembali ke Amrika sebulan lagi. Dia berkata benar benar ingin menikmati sebulan di Indonesia ini dan melepaskan kerinduaannya kepadaku.

"Udah gila ya si bule ini?"pikirku dalam hati. Tapi apa boleh buat, aku terlanjur memberi harapan kepadanya, terlalu sering aku membalas surat surat darinya dan menceritakan kabar dan kemana aku akan pergi di dalam surat. "Ya udah, kutemani berjalan jalan di kampungku selama seminggu ini dan minggu depan aku udah harus berangkat ke pulau Jawa, sudah mau kerja." Jawabku. 

Selama seminggu si pria jangkung tinggal di rumahku, dan itu membuat heboh warga sekampung. Ada yang meminta ayahku untuk segera mengawinkanku kepadanya, ada pula yang memberitahu ibuku untuk berhati hati pada orang Bule. 

Ternyata si pria jangkung sedang melakukan penelitian geologi dan sebentar lagi akan lulus dan menjadi geolog, jadi untuk tugas akhir study nya dia memilih Indonesia, selain tanahnya subur dan banyak gunung merapi juga bisa menemuiku. Iya, sudah 3 tahun lebih sejak pertemuan pertama kami, aku juga sudah lulis dan akan segera bekerja.

Dia bercita cita ingin menjadi geolog dan mungkin akan bekerja di perusahaan penambangan di Amerika, dia pun mengajak diriku untuk ikut denganya, dia berkata bahwa dia seriua dengan hubungan kita, dan tujuannya kali ini, sekaligus ingin meminang dan meminta izin dari kedua orang tua ku. 

Aku susah menjawabnya, karena dia juga belum lulus dan aku juga belum berpenghasilan dan bagaimana uang yang telah orang tuaku keluarkan untuk membayar kuliahku? rasanya terlalu cepat bila aku menikah sekarang, umurku baru 22 tahun, dan si pria jangkung baru 25 tahun. 

Kukatakan kepadanya tentang pemikiranku, akhirnya dia mengerti dan kami pun berangkat ke pulau Jawa, dia melakukan tugas geologinya dan aku bekerja, hanya di sabtu minggu kami bisa jalan jalan bareng dan dating. Sebulan berlalu dan ini waktunya dia kembali ke Amerika, dihadiahkan cincin emas berlian kepadaku dan dia berkata bahwa dia akan segera menjemputku untuk menjadi pengantinnya.

Kenangan terakhir kami kali ini adalah dia melamarku di pulau dewata Bali, suasana romantis perasaan ini akan kuingat selamanya. Aku pun tak berharap banyak, karena masih banyak yang kupertimbangkan, belum lagi keluarga besarku, ini akan menjadi buah bibir bagi mereka. Yah begitulah, aku hanya bisa berserah kepada Tuhan, jika ini memang jalanku aku akan jalani dengan berani dan tegar. 

"Bangun, bangun, eh nenek Windy, it's lunch time." Wah, sudah tua aku ini, melamun sampai ketiduran, pikirku dalam hati. Kami melanjutkan makan siang dengan menu yang dimasak Wills, suamiku yang ini memang jago memasak, menu hari ini adalah chicken roaster dan kentang goreng disertai bumbu barbeque,.akupun makan dengan lahapnya.

Sekuntum bunga mawar (Part 1)

Diusiaku yang senja ini, aku duduk termenung di kursi santai di pekarangan rumahku yang indah sambil menikmati angin sepoi sepoi bertiup. Bayanganku tertuju pada sekuntum bunga mawar merah di tamanku ini. Sembari memandangi bunga itu, aku jadi teringat saat usiaku masih belia, sweet seventeen kata orang adalah masa terindah, aku jadi teringat kisah cintaku dan sekuntum mawar merah ini.

Saat di usiaku yang ke 17, bagai sekuntum bunga yang baru mekar dikelilingi banyak lebah yang ingin menghisap madunya yang masih segar. Begitulah diibaratkan seorang gadis yang masih berusia 17 tahun dikelilingi banyak lelaki yang akan menyanding sang gadis menjadi istri atau pasangan hidup mereka.

Cerita berlanjut saat ada seorang pria yg masih begitu belia, umurnya sekitar 2 atau 3 tahun lebih tua dariku. Pria ini, tidak lelah menatapku saat bertemu pertama sekali. Dan dia juga memperkenalkan diri serta banyak juga teman temannya yang ikut saat itu. Matanya yang biru, badannya yang jangkung, membuatku merasa dia adalah pria yang cool alias keren,ha..ha..

Tak terasa perkenalan kami pun sudah 3 bulan berlalu, si pria tak lelah memberi kabar, menyuratiku. Walau terkadang aku malas dan bosan dengan segudang pertanyaan dan puisi puisi aneh di dalam surat itu. Terkadang aku pun malas membalas atau menjawab surat surat darinya, bagiku duniaku masih banyak yang bisa kupilih sebagai pasanganku daripada kepadanya ku menaruh hati, tidak ada kepastian yang berarti. Pria itu tinggalnya jauh, di sebrang lautan bahkan di sebrang samudra, di benua yang lain dari benua asia kita. Negara yang kucintai, Indonesia, rasanya tidak mungkin aku bisa bersamanya, leluhur dan nenek moyangku telah memilih negara ini sebagai pelabuhan mereka, tentu negara ini adalah yang terbaik dan termakmur.
Banyak pertimbanganku terhadap dia, si pria jangkung. Walau parasnya sangat menarik hati, matanya biru, kulitnya putih, badannya tinggi semampai dan tinggalnya di Negri Paman Sam. Rasanya gadis lain akan segera jatuh hati kepadanya, banyak perasaan, bimbang, dan pertimbangan yang kurasakan. Walau sesekali hatiku bisa tergetar, akan tulisan surat dan kata kata romantisnya, setiap hari yang spesial, aku akan mendapatkan kiriman sekuntum bunga mawar, pada saat ultahku misalnya, aku mendapat kiriman bunga mawar dan sebuah kartu pos dari pria jangkung, bunganya harum sekali dan dibungkus sangat indah, aku bahkan bingung, bagaimana bunga nya masih tetap utuh walau dikirim dari Negri Paman Sam sana.

" Ei, nenek, nenek copot ngapain elu? mimpi di tengah hari? melamun terus nanti kamu dirasukin hantu lho,." Ujar si Kakek Tua. Waduh suamiku ini, menganggu saja lamunanku yang sedang indah indahnya. Aku hanya menjawab "Enak aja panggil nenek copot, dasar kamu kakek pikun, mengganggu lamunanku saja".

Begitulah keseharianku dengan kakek tua ini, tidak sadar diri sendiri juga sudah tua dan copot. Tapi dengan begitu, kami masih tetap ronantis dan masih ada yang namanya saat dating lho. Itulah yang aku suka dari suamiku ini,walau terkadang menyebalkan juga.

"Ayo, cepat siap siap, pakai pakaian yang angun ya malam ini kita akan ke maybeach, pantainya indah dan disana ada cafe yang katanya romantis di tengah tengah pantai." Ujar kakek tua kepada nenek tua, yaitu diriku,ha..ha..

"Sudah siap belum? Windy, lamanya dirimu, tahu tidak dimana aku letakkan kacamataku dan kunci mobilku? bagaimana kita berangkat tanpa mobil, bantu aku mencarinya, Windy darling". Ujar kakek tua dari lantai bawah.

" Iya, sabar ya my dear, Wills, u alway make it as my job to found your key and your glasses " ujarku kepada William, suamiku tercinta. Begitulah keseharian kami yang tua ini. Akhirnya kutemukan kunci dan kacamata nya William, dan kami pun berangkat ke pantai yang romantia itu.

Jaraknya lumayan jauh, aku juga sempat dag dig dug, Wills udah tua, dan gelap, apa masih bisa dia bawa mobil? Ditemanin musik klasik kesukaaan kami di mobil dan sederetan gps mobil akhirnya kami pun tiba di Maybeach.

Pantainya indah, dan suasananya benar benar romantis, cafe yang di atas pantai dan ditemanin lilin lilin kecil membuat cafe ini semakin hidup. Rasanya benar kata Wills, we will enjoy the cafe and the beach also the romatic place.